BAB IV WIWAHA
- Pendahuluan
Wiwaha
dalam ajaran Catur Asrama, termasuk dalam Grehastha Asrama. Dalam kitab Manawa
Dharmasastra disebutkan bahwa wiwaha bersifat sakral yang hukumnya wajib, yakni
harus dilakukan oleh seseorang yang normal sebagai suatu kewajiban dalam
hidupnya.
- Pengertian Wiwaha
Menurut UU No : 1 th 1974 pasal 1 : perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang berbahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Suatu
perkawinan dianggap sah bila ada saksi dalam upacara. Dalam upacara wiwiha (byakala) tersebut sudah terkandung
Tri Upasksi (konsep keseimbangan):
- Dewa
saksi (Tuhan yang dimohon hadir)
- Manusa
saksi (Pemangku, Bendesa Adat, Kelian Dinas)
- Bhuta
saksi (Bhuta Kala)
Asas-asas perkawinan yang perlu diperhatikan :
- Perkawinan
bertujuan membetuk rumah tangga bahagia dan kekal.
- Suatu
perkawinan sah bila dilakukan menurut hukum agama yang dianut dan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
- UU
Perkawinan mengandung asas monogami.
- Jiwa
raga calon suami-istri harus telah dewasa.
- UU
menganut prinsip mempersukar perceraian .
- Hak
dan kedudukan suami istri diatur dalam UU.
- Tujuan Wiwaha
Mempunyai
putra yang saputra adalah tujuan yang utama dari wiwaha. Hal ini didukung oleh
pendapat :
- Kitab
Monusmerti : seseorang berkewajiban mempunyai putra karena ia akan menebus
dosa-dosa orang tua. (putra = Bhs. Sansekerta)
- Kitab
Manawa Dharmasastra, Itihasa dan Purana Ideni.
- Kitab
Nitisastra sbb : orang yang membuat 100 sumur masih kalah keutamaannya
dibandingkan dengan orang yang membuat satu waduk, orang yang membuat 100
waduk kalah keutamaannya dibandingkan dengan orang yang membuat 1 yadnya
secara tulus ikhlas, dan orang-orang yang mampu membuat 100 yadnya masih
kalah keutamaannya dibandingkan dengan orang yang mampu melahirkan seorang
anak yang suputra.
Dalam hidup berumah tangga ada beberapa kewajiban yang
perlu dilaksanakan :
- Melanjutkan
keturunan.
- Membina
rumah tangga.
- Bermasyarakat.
- Melakukan
Panca Yadnya.
- Hakikat Wiwaha
Yang
perlu dilaksanakan dalam wiwaha (grehastha) ada tiga :
- Dharma
: dharma Agama dan dharma Negara..
- Artha
: kebutuhan hidup berupa kesehatan, materi dan pengetahuan .
- Kama
: kenikmatan dan kebahagiaan.
- Syarat-syarat Wiwaha
Suatu
perkawinan dianggap sah menurut Hindu adalah sbb :
- Dilakukan
menurut ketentuan hukum Hindu.
- Disahkan
oleh pendeta (rohaniawan) atau pejabat agama yang memenuhi syarat untuk melakukan perbuatan itu (Loka Pala
Sraya).
- Kedua
calon mempelai beragama Hindu.
- Setelah
melaksanakan upacara byakala (biakaonan) sebagai rangkaian upacara wiwaha.
- Calon
mempelai tidak terikat oleh suatu ikatan pernikahan.
- Tidak
ada kelainan : banci, kuming (tidak pernah haid), gila atau sehat jasmani
dan rohani.
- Calon
mempelai cukup umur , pria = 21 th, wanita = 18 th minimal.
- Calon
mempelai tidak mempunyai hubungan darah dekat (sepinda).
- Sebagai
pendukung pelaksanaan hukum Hindu harus dibuatkan “Akte Perkawinan” agar
kukuh perkawinan itu
Menurut pasal 23 bab IV. UU No. 1 th 1974 yang dapat
mengajukan pembatalan perkawinan :
- Para
keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri.
- Suami
/ istri.
- Pejabat
yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan.
- Pejabat
yang ditunjuk dalam ayat 1 pasal 16 UU No. 1 th 1974, dan setiap orang
yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan
tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus
F. Sistem Perkawinan Hindu
Berdasarkan
kompodium hukum Hindu yakni Manawa Dharmasastra ada 8 jenis perkainan, sbb :
“Brahma Dai vastat hai varsah,
pnipaja vasiatha
surah,
gandharwo raksasa caiva, dan
paisacasca astamo dharmah”
Artinya : adapun sistem perkawinan itu ialah Brahma
Wiwaha, Daiwa Wiwaha, Gandarwa Wiwaha, Raksasa Wiwaha, dan Paisaca Wiwaha.
Adapun penjelasannya sbb :
- Brahma
Wiwaha adalah pemberian anak wanita kepada seorang pria yang ahli Weda dan
berperilaku baik setelah menghormati orang yang diundang sendiri oleh ayah
wanita (M.D.III.27)
- Daiwa
Wiwaha pemberian anak gadis kepada seorang pendeta yang melaksanakan
upacara atau yang telah berjasa (M.D.III. 28)
- Arsa
Wiwaha adalah perkawinan yang dilakukan sesuai dengan peraturan setelah
pihak wanita menerima seekor atau dua pasang lembu dari pihak calon
mempelai laki-laki (M.D.III. 29)
- Prajapati
Wiwaha adalah pemberian seorang anak gadis setelah berpesan dengan mantra
semoga kamu berdua melaksanakan kewajibanmu bersama dan setelah
menunjukkan penghormatan (kepada pengantin pria), (M.D.III. 30)
- Asura
Wiwaha perkawinan setelah pengantin pria memberikan mas kawin sesuai
kemempuan yang didorong oleh kemampuan sendiri kepada si wanita dan
ayahnya menerima wanita itu untuk dimiliki (M.D.III.31)
- Gandharwa
Wiwaha adalah perkawinan suka sama suka antara seorang wanita dan pria
(M.D.III. 32)
- Raksasa
Wiwahaadalah perkawinan dengan cara menculik gadis dengan cara kekerasan
(M.D.III. 33)
- Paisaca
Wiwaha adalah perkawinan dengan cara mencuri, memaksa dan membuat bingung
atau mabuk (M.D.III. 34)
Sistem perkawinan Raksasa dan Paisaca Wiwaha dilarang
oleh hukum. Menurut tradisi adat di Bali, ada 4 bentuk sistem perkawinan :
- Sistem
memadik/meminang : yaitu calon suami serta keluarga datang ke rumah calon
istri untuk meminang. Biasanya calon pengantin sudah saling kenal dan
sepakat. Ini dipandang cara yang paling terhormat.
- Sistem
ngerorod/rangkat, yaitu perkawinan yang berlangsung atas dasar saling
cinta oleh kedua calon yang sudag cukup umur (kawin lari).
- Sistem
nyentana / nyeburin, yaitu perkawinan yang berdasarkan perubahan status
hukum, calon mempelai wanita secara adat berubah status sebagai purusa dan
calon mempelai laki-laki berstatus sebagai pradana. Dalam hubungan ini
laki-laki tinggal di rumah istri.
- Sistem
melegandang, yaitu bentuk perkawinan dengan cara paksa yag tidak didasari
atas cinta sama cinta. (Raksasa Wiwaha dan Paisaca Wiwaha)
UU Perkawinan
No : 1 th 1974, pasal 57, mengatur tentang perkawinan campuran, yaitu
perkawinan pasutri yang berbeda kewarganegaraan dan kemugkinan berbeda agamanya,
maka hukum agama si suami yang harus diikuti : Diawali dengan upacara
sudhiwadani sebagai pernyataan bahwa si wanita rela dan sanggup mengikuti agama
pihak suami. Setelah itu upacara wiwaha baru dilaksanakan.
- Perkawinaan yang Dilarang
Menurut UU
No:1 th 1974, pasal 24 dan 27, suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila :
- Bertentangan
dengan hukum agama, misalnya dilakukan dengan sistem raksasa atau paisaca
wiwaha.
- Bila
calon pasutri masih mempunyai ikatan perkawinan dengan seseorang
sebelumnya.
- Bila
calon pasutri mempunyai cacat yang disembunyikan, sehingga salah satu
pihak merasa ditipu, misalnya memiliki penyakit munular, tidak sehat
pikiran, impotensi, hamil akibat berhubungan dengan laki-laki lain.
- Bila
mempunyai hubungan sapinda.
- Apabila
istri tidak menganut agama yang sama dengan suami menurut hukum agama.
- Contoh-contoh Tata Cara
Perkawinan Hindu Menurut Daerah
- Wiwaha di Bali
Perkawinan
yang tidak didahului dengan upacara
pekala-kalaan dianggap tidak baik, disebut kamakaparagan. Anak yang lahir
disebut “ rare dia-diu”, atau rare bibinjat.
- Tata
urutan Upacara Perkawinan di Bali
1) Penyambutan
kedua mempelai, untuk melenyapkan unsur-unsur negatif yang mungkin dibawa oleh
kedua pasutri agar tidak mengganggu jalannya upacara.
2) Mabyakala,
untuk membersihkan lahir batin kedua mempelai terutama sukla swanita, yaitu sel
benih pria dan sel benih wanita agar menjadi janin suputra.
3) Mepejati
(Pesaksian), untuk pengesahan perkawinan kepada Tuhan Yang Maha Esa, juga
kepada masyarakat, bahwa pasutri telah meningkatkan diri sebagai suami istri.
- Sarana/Upacara
1) Banten
pemagpag, segehan dan tumpeng dadanan.
2) Banten
untuk mempelai byakala, banten kurenan dan pengulap pengambean.
3) Banten
pesaksi, pradaksina dan ajunan.
Adapun kelengkapan upacara lainnya seperti :
1) Tikeh
dadakan, terbuat dari daun pandan yang masih hijau. Ini simbul kesucian si
gadis.
2) Pepegatan
berupa dua buah cabang dapdap yang ditancapakan dengan jarak yang agak
berjauhan dan keduanya dihubungkan dengan benang putih dalam keadaan terentang.
3) Tetimpug,
yaitu lima atau tujuh ruas potongan bambu kecil yang masih muda.
4) Sok
Dagang, yaitu sebuah bakul berisi buah-buahan, rempah-rempah dan keladi.
5) Kala
Sepetan, yaitu disimbulkan dengan sebuah bakul berisi serabut kelapa dibelah
tiga yang diikat dengan benang tri datu, diselipi lidi 3 buah dan 3 lembar daun dapdap. Kala
Sepetan adalah nama salah satu bhuta kala yang akan menerima pekala-kalaan.
6) Tegen-tegenan,
yaitu batang tebu atau batang dapdap yang kedua ujungnya diisi gantungan
bingkisan nasi dan uang.
- Jalannya
Upacara
1) Upacara
penyambutan kedua mempelai, yaitu di pintu halaman pekarangan rumah pasutri
disambut dengan upacara masegehan dan tumpeng dandanan.
2) Upacara
mabyakala, yaitu diawali dengan upacara puja astuti oleh pemimpin upacara.
Selanjutnya membakar tetimpug sebagai simbol pemberitahuan kepada bhuta kala, kedua pasutri berdiri
melangkahi tetimpug sebanyak 3 kali dan kemudian menghadap banten pabyakalaan.
Kedua tangan mempelai dibersihkan dengan segehan/ tepung tawar, kemudian natab
pabyakalaan. Selanjutnya masing-masing ibu jari kaki dari pasutri disentuhkan
dengan telur ayam mentah 3 kali. Selanjutnya kedua mempelai dilukat dengan
tirta penglukatan. Upacara selanjutnya berjalan mengelilingi banten pesaksi dan
kala sepetan yang arahnya Murwa Daksina. Saat berjalan, mempelai wanita
berjalan di depan sambil menggendong sok dagangan (simbol menggendong anak),
sambil diiringi mempelai pria memikul tegen-tegenan (simbol kerja keras untuk
memperoleh nafkah kehidupan). Setiap melewati ibu jari kanan kedua mempelai
disentuhkan ke bakul. Mempelai wanita saat berjalan dicemeti(dipukul) dengan 3
buah lidi sebagai simbol kesepakatan untuk hidup semati. Upacara terakhir kedua
mempelai memutuskan benang pepegatan sebagai tanda mereka berdua telah memasuki
hidup grehasta.
3) Upacara
Mepejati atau Persaksian.
- Wiwaha di Jawa
Adapun
rangkaian acaranya sbb :
1) Nontoni,
yaitu calon suami berkunjung ke rumah keluarga calon istri.
2) Pinangan,
yaitu kerabat dan orang tua calon suami menyampaikan lamaran, selanjutnya menentukan
hari baik perkawinan.
3) Peningset,
yaitu keluarga pria menyampaikan tanda pengikat berupa cincin, pakaian, kerbau,
sapi atau kebutuhan hidup lainnya.
4) Midodareni,
yaitu persiapan 1 hari menjelang upacara puncak.
5) Panggih
Manten, yaitu upacara puncak perkawinan.
3)
Wiwaha
di Dayak
a) Mamupuh,
yaitu pihak laki-laki mengirim utusan kepada pihak perempuan untuk menyampaikan
lamaran. Bila diterima maka bukti lamarannya diserahkan berupa pakaian Sinde (selembar kain panjang atau kamen),
saat itu pula dibicarakan rencana peminangan.
b) Meminang
, yaitu 3 bulan kemudian pihak laki-laki menyerahkan pakaina Sinde Mendeng, 1
buah gong, seekor ayam dan lilis/lamiang.
c) Tahap
Pengukuhan Perkawinan , yaitu diadakan upacara Haluang Hapelek (perkawinan
adat). Dalam upacaranya dikenal manifestasi
“Ranjung Hattala” (Tuhan dibidang perkawinan).
4)
Wiwaha
di Batak Karo
a) Tahap
sebelum upacara perkawinan, yaitu diawali saling kenal kedua mempelai
(=Erturut), kemudian saling mengenal pribadi (=Naki-naki), akhirnya pihak orang
tua saling berhubungan (=Nungkuni).
b) Nangkih,
yaitu pihak laki-laki membawa si wanita ke rumah keluarganya dengan diantar
oleh 1 atau 2 orang.
c) Maba
Belo Selambar, yaitu membawa selembar sirih 4 atau 8 hari setelah nangkih
sebagai sarana upacara (=byakaon).
d) Maba
Manuk (membawa ayam).
e) Kerja
Erdemu Bayu, yaitu pesta adat Karo yang beragama Hindu di siang hari.
f) Sesudah
perkawinan, yaitu upacara Nguluhken Limbas
yang
sering disebut dengan istilah Ertedeh Atai (kangen).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar