TARI TOPENG
Ø PENGERTIAN
TARI TOPENG
Di Bali Topeng bukan hanya sekadar seni
tari belaka, tetapi topeng juga menjadi pelengkap dalam ritual keagamaan karena
itu sering juga disebut dengan topeng wali.
Topeng
berarti penutup muka yang terbuat dari kayu, kertas, kain atau bahan lainnya
dengan bentuk yang berbeda-beda. Dari yang berbentuk wajah dewa-dewi, manusia,
binatang, setan dan lain-lainnya, konon dahulu topeng itu terbuat dari
kayu khusus agar tahan lama bukannya dari plastik maupun kertas dengan
perhitungan pembuatannya pun memakai hari baik atau dewasa dalam bahasa bali.
Jaman dahulu kala atau jaman bali kuno topeng merupakan suatu benda yang
sakral. Diistilahkan berisi roh yang mendiami suatu nyawa. Di Bali topeng juga
adalah suatu bentuk dramatari yang semua
pelakunya mengenakan topeng dengan cerita yang bersumber pada cerita sejarah
yang lebih dikenal dengan Babad.Dalam membawakan peran-peran yang dimainkan, para penari memakai topeng penuh (yang menutup seluruh muka penari), topeng setengah (yang menutup hanya sebagian muka dari dahi hingga rahang atas termasuk yang hanya menutup bagian dahi dan hidung). Semua tokoh yang mengenakan topeng penuh tidak perlu berdialog langsung, sedangkan semua tokoh yang memakai topeng setengah memakai dialog berbahasa kawi dan Bali .
Tokoh-tokoh utama yang terdapat dalam dramatari Topeng terdiri dari Pangelembar (topeng Keras dan topeng tua), Panasar (Kelihan – yang lebih tua, dan Cenikan yang lebih kecil), Ratu (Dalem dan Patih) dan Bondres (rakyat). Drama tari topeng yang ada di Bali, yang terus berjalan dan berkembang, berubah sejalan dengan perubahan nilai nilai artistik, sosial, dan kultural dari masyarakat Bali .
Kemampuannya beradaptasi dengan berbagai perubahan yang terjadi dalam lingkungan masyarakat pendukungnya telah membuat drama tari topeng ini hingga kini mendapat tempat yang cukup istimewa di hati masyarakat, khususnya Hindu yang ada di Bali maupun orang Bali yang ada di luar Bali .
Ø SEJARAH
TARI TOPENG
Sebelumnya perlu diketahui, seni pertunjukan mempergunakan topeng di Bali sudah berkembang sejak zaman
pemerintahan raja Jaya Pangus sekitar abad X. Dalam kumpulan prasasti Jaya
Pangus ini sudah ditemui beberapa istilah-istilah seperti: atapukan yang
artinya pertunjukan yang mempergunakan alat-alat penutup muka (topeng).
Selain itu, di Bali ditemukan beberapa buah
prasasti yang memuat tentang kesenian topeng, salah satunya adalah prasasti
Bebetin (tahun 896 Masehi), yang menyebutkan pertunjukan topeng sebagai
atapukan. Di samping itu keberadaan topeng juga disebutkan dalam prasasti
Blantih sekiktar tahun 1059 masehi.
Selain itu, ada juga prasasti tentang petopengan
yaitu prasasti Ularan Plasraya. Dalam prasasti itu diceritakan tentang
Pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel antara tahun 1460-1550. pada masa itu
Dalem Waturenggong berniat menaklukan Kerajaan Blambangan. Dikirimlah
pasukan tentara di bawah pimpinan Ki Patih Ularan dan ditemani I Gusti Jelantik
Pesimpangan. Dalam pertempuran tersebut Sri Dalem Juru, Raja Blambangan, kepalanya
dapat dipenggal dan Blambangan dapat ditaklukan. Sebagai bukti telah menaklukan
Blambangan dirampaslah beberapa barang, di antaranya dua buah gong, satu
keropang Wayang Gambuh dan satu peti topeng.
Pada masa pemerintahan Wirya Sirikan, sekitar
tahun 1879 oleh I Gusti Jelantik, topeng yang jumlahnya 21 buah itu
dipindahkan ke Blahbatuh, kini topeng-topeng itu disimpan di Pura
Penataran Topeng yang berada di Blahbatuh, Gianyar. Dari 21 buah topeng
tersebut, enam di antaranya yang memakai canggem sebagai alat memegang, topeng
itulah yang diperkirakan berasal dari Jawa, karena sebagin besar topeng Jawa
menggunakan canggem.
Di Bali selain topeng yang di Blahbatuh, juga
terdapat juga topeng sakral di daerah Ketewel, Sukawati, yaitu topeng Sang
Hyang atau Sang Hyang Topeng. Topeng ini bermuka wanita sehingga disebut Topeng
Widyadari atau Bidadari,. Topeng itu ada tujuh buah, yaitu topeng Widyadari
Kendran, Nilotama, Gagar Mayang, Sulasih, Gudita, Supraba dan Aminaka.
Di Desa Trunyan terdapat Topeng Brutuk yang
sering disebut Batara Brutuk. Di Desa Trunyan sebuah pura bernama Pura
Pancering Jagat. Di pura itu terdapat sebuah patung besar tanpa busana setinggi
empat meter yang bernama Bhatara Datonta atau Batara Ratu Pancering Jagat.
Batara Ratu Pancering Jagat memiliki sebanyak 21 orang unen-unen dalam bentuk
topeng yang dinamakan topeng Brutuk. Wajah topeng-topeng itu menyerupai
topeng-topeng primitif, matanya besar dengan warna putih atau coklat, diduga
peninggalan kebudayaan pra-Hindu Bali . Topeng-topeng Brutuk itu ditarikan oleh
anggota sekaa taruna. Sebelum menari para taruna harus melewati proses
sakralisasi selama 42 hari.
Selain itu, terdapat juga Barong
yang merupakan topeng yang berwujud binatang, mitologi yang memiliki kekuatan
gaib dan dijadikan pelindung masyarakat Bali. Barong Ket juga dianggap sebagai
manifestasi dari Banaspati Raja, atau Raja Hutan. Orang Bali menganggap seekor
Singa sebagai Raja Hutan yang paling dahsyat. Dalam pementasan tari Barong,
figur Barong Ket dijadikan lambang kemenangan dan Rangda merupakan pihak yang
kalah. Namun di luar konteks seni pergelaran, kedua figur itu disandingkan
sebagai pelindung masyarakat. Selain Barong Ket, di Bali terdapat beberapa
jenis Barong lainnya, seperti Barong Bangkal, Barong Gajah, Barong Macan, dan
Barong Asu.
Ada juga Barong Landung dari segi wujudnya
berbeda dengan barong-barong lainnya di Bali. Barong Landung diduga manifestasi
dari perkawinan Dalem Balingkang (Jaya Pangus) dengan Putri Cina bernama Kang
Ching Wie. Perkawinan itu tidak direstui oleh Bhatari Batur, yang kemudian
mempralina keduanya. Sebagai tonggak peringatan, maka keduanya diwujudkan ke
dalam pratima kecil dan disembah di Pura Batur. Sebagai wujud besarnya, kedua
pratima itu dibuat dalam bentuk Barong Landung, laki-laki dan perempuan, Jero
Gede dan Jero Luh.
Barong Dingkling atau Wayang Wong disebut juga
Barong Blas-blasan. Ciri khas penampilan Barong Dingkling adalah
meloncat-loncat dan kemudian berpisah-pisah satu sama lain untuk mencari
sasarannya. Barong Dingkling yang tapelnya berupa topeng-topeng wanara seperti
Sugriwa, Anoman, Anggada, Menda, dan Jumawan, merupakan tari penolak bala dan
hama. Setiap tokoh itu mengusir hama-penyakit. Para wanara yang meloncat-loncat
keriangan, dengan bunyi-bunyi ngore seperti monyet, menggetarkan pohon-pohon
kelapa pertanda ritual pembersihan dilakukan.
Ada juga topeng Rangda, nama lain dari Calonarang
— janda dari Desa Girah (Dirah) yang mempraktekkan desti (ilmu hitam) berwujud
sebuah topeng yang sangat mengerikan. Biasanya menggambarkan sifat kejahatan
dalam dramatari Calonarang. Rangda sebagai sungsungan (sakral) hampir tak
pernah dipisahkan keberadaannya dengan Barong Ket. Keduanya distanakan sebagai
makhluk dahsyat yang bisa memberi perlindungan kepada masyarakat
penyungsungnya. Hampir setiap desa di Bali memiliki kedua tokoh ini yang
sebagai penjaga keselamatan desa.
Yang terakhir adalah Topeng Babad yang
menggunakan babad sebagai sumber lakonnya. Ada dua jenis Topeng Babad yaitu
Topeng Pajegan dan Topeng Panca. Topeng Pajegan dimainkan seorang penari
(aktor) yang sendirian menarikan 8-12 tokoh berbeda dalam sebuah pementasan.
Topeng Pajegan disebut juga Topeng Wali, karena ia berfungsi untuk sarana
upacara keagamaan dan dipentaskan sejajar dengan Wayang Lemah. Sedangkan Topeng
Panca dipentaskan oleh lima orang penari.
Ø Jenis-jenis
Dramatari Topeng di Bali
1. Topeng Pajegan Kata pajegan mengacu kepada kegiatan pedesaan masyarakat Bali agraris, yang kini bisa diterjemahkan dengan ”memborong”. Penari Topeng Pajegan memborong semua peran yang ada di dalam cerita. Yang ada hanya seorang pemain, dan cerita berkembang dengan seutuhnya lewat satu pemain. Pada intinya, Topeng Pajegan adalah ritual yang mengiringi upacara keagamaan Hindu dalam budaya Bali yang diakhiri dengan Topeng Sidakarya sebagai puncak dari ritual itu.
Oleh karena itu, penari Topeng Pajegan adalah orang yang tinggi tingkatan spiritualnya, karena dia harus memberikan pencerahan kepada masyarakat (penonton) apa inti upacara itu, apa tujuan upacara, dan apa akibatnya apabila upacara ini tidak dilaksanakan. Seorang penari Topeng Pajegan adalah seorang pendharma wacana yang piawai, sekaligus memiliki kemampuan bercerita seperti seorang dalang.
Topeng Pajegan, topeng yang ditarikan oleh seorang aktor dengan memborong semua tugas-tugas yang terdapat di dalam topeng. Di dalam Topeng Pajegan ada sebuah topeng yang mutlak harus ada yakni topeng Sidakarya. Oleh karena demikian eratnya hubungan topeng pajegan ini dengan upacara keagamaan maka topeng inipun disebut topeng Wali.
Sebuah tradisi yadnya di Bali ada yang disebut kutukan Dalem Sidakarya. Inti kutukan ini adalah seberapa besar pun yadnya yang dibuat, seberapa banyak pun banten yang dihaturkan, tidak akan ada artinya jika belum mendapat ”restu” dari Dalem Sidakarya. Banten bisa menjadi sampah yang berbau busuk, dan yadnya bisa tidak sampai pada tujuannya. Karena itu diperlukan pamuput karya di luar sulinggih, yakni pementasan Topeng Sidakarya.
Legenda di balik pementasan Topeng Sidakarya. Kisahnya konon terjadi pada pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel yang akan mengadakan upacara besar di Pura Besakih. Tiba-tiba ada seorang Brahmana walaka—bukan pendeta—dari Keling, Madura mengaku akan mencari saudaranya yang tiada lain adalah Dalem Waturenggong. Sayangnya, karena perjalanan yang jauh dan berhari-hari, Pandita Keling sampai di Gelgel dalam keadaan kumal, bajunya compang-camping, mirip seorang pengemis. Dalam pakaian seperti itu, tak ada seorang pun staf kerajaan yang percaya kalau tamu tak diundang itu saudara Dalem Waturenggong. seorang pandita. Maka, Brahmana Keling diusir dengan paksa, setelah sebelumnya sempat dihina.
Brahmana Keling pergi dengan dendam. Di sebuah tempat yang sepi, dia melakukan perlawanan dengan mengucapkan mantra yang isinya yadnya yang diselenggarakan oleh Dalem Waturenggong tidak akan membawa berkah, malahan menimbulkan bencana. Semua banten menjadi busuk dan tikus-tikus pun mengerubungi banten busuk itu. Tikus semakin banyak sampai merusak tanaman petani. Rakyat menjadi resah.Raja Waturenggong dalam samadinya tahu siapa yang mengutuk upacara besarnya itu. Dia lantas mengutus Arya Tangkas untuk menjemput Brahmana Keling yang masih tinggal di tempat sepi (suung) itu. Raja meminta maaf dan memohon kepada Brahmana Keling agar karya yang dilaksanakan menjadi sida (diberkahi). Jika mampu maka Brahmana Keling akan diakui sebagai saudara dan diberi gelar Dalem Sidakarya.Selanjutnya, Dalem Waturenggong menitahkan agar setiap upacara atau karya yang dilaksanakan orang Bali menggunakan Topeng Sidakarya sebagai pemuput upacara atau mohon jatu karya ke Pura Dalem Sidakarya, berupa catur wija dan panca taru.
Dari legenda itu masyarakat Hindu di Bali lantas membuat Topeng Sidakarya. Wujudnya berwajah jelek dengan gigi merangas sebagai simbol dari pandita yang wajahnya mirip gelandangan. Karena itu, penari Topeng Sidakarya biasanya lebih banyak menutup wajah — terutama mulut — dengan kain putih yang dibawanya. Namun, mantra yang diucapkan sangat bertuah karena dilakukan dengan ngider buwana (ke segala arah). Itu sebabnya, tidak semua penari topeng mampu menarikan Dalem Sidakarya.
Kebanyakan masyarakat Bali yang tidak mementaskan Topeng Sidakarya untuk muput yadnya beralasan lain lagi, yakni tak ingin memanggil sekaa topeng. Pengeluaran bertambah dengan mementaskan topeng. Namun, Topeng Sidakarya sendiri sesungguhnya bisa dipentaskan tanpa ”pementasan topeng”. Artinya, yang didatangkan hanya seorang penari topeng yang sudah berhak (secara ritual) membawakan topeng Dalem Sidakarya itu.
Gamelan pengiring tidak menjadi masalah, bisa gong gede, angklung, maupun gender biasa, disesuaikan dengan gamelan yang ada pada penyelenggaraan yadnya. Dalam hal ini penari Topeng Sidakarya disebut ”Topeng Pajegan”, karena dia harus menarikan berbagai peran. Dalem Sidakarya hanya muncul pada saat akhir yakni ketika membuat tirtha. Karena itu sebelumnya ”penari pajegan” ini melakukan improvisasi dan monolog untuk mengantar pada kemunculan Dalem Sidakarya. Penari bisa membanyol, bisa pula memberikan semacam dharma wacana, tergantung siapa penarinya.
Sebagai seni ritual (seni wali) Topeng Sidakarya perlu dikembangkan dan dipopulerkan. Tentu fungsi utamanya ditambah, bukan hanya untuk mentradisikan legenda pamuput akhir dari yadnya, tetapi untuk media dharma wacana. Sekarang ini bukan hanya hama tikus yang meresahkan tetapi juga terjadinya kemerosotan moral pada generasi muda. Nah, siapa tahu Topeng Sidakarya bisa menjadi media perlawanan dalam mengatasi masalah moral ini dan bisa menjadi tongkak untuk menguatkan kesenian di bali khususnya seni tari wali ini.
2. Topeng Panca
Drama tari topeng yang ditarikan oleh 5 ( lima ) orang penari. Topeng ini timbul di Denpasar sekitar tahun 1915. Topeng Panca dipentaskan oleh lima orang penari. Topeng ini merupakan perkembangan dari Topeng Pajegan. Topeng Panca ini berkembang menjadi Topeng Sapta, dengan tambahan penari Putri dan Condong.
3. Topeng Prembon
Dramatari topeng yang sudah dikombinasikan dengan unsur drama tari Bali lainnya (biasanya dari arja) namun strukturnya patopengannya masih tetap dominan. Topeng Prembon yang menampilkan tokoh-tokoh campuran yang diambil dari Dramatari Topeng Panca dan beberapa dari dramatari Arja dan Topeng Bondres, seni pertunjukan topeng yang masih relatif muda yang lebih mengutamakan penampilan tokoh-tokoh lucu untuk menyajikan humor-humor yang segar.Prembon (per-imbuh-an) adalah dramatari campuran dari berbagai unsur dramatari klasik Bali yang ada. Sesungguhnya setiap dramatari yang diciptakan dengan cara menggabungkan berbagai unsur-unsur tari Bali yang telah ada dapat disebut sebagai Prembon. Prembon muncul pada zaman revolusi, tepatnya tahun 1942, Prembon lahir dari penggabungan seni Topeng dan Arja. Lakon yang ditampilkan pada umunnya bersumber dari cerita Babad dan semi sejarah lainnya sebagaimana halnya dramatari. Di daerah Gianyar, Prembon yang banyak memasukan unsur-unsur Arja dan Gambuh biasa disebut Tetantrian.
Ø TOPENG
Ø Fungsi
Topeng
Fungsi – fungsi topeng adalah
sebagai berikut :
1. Sebagai
ucapan rasa terimakasih yang didasari oleh keikhlasan dan penuh ketulusan hati,rasa
bakti kepada Tuhan dapat dilakukan dengan beragam wujud persembahan, seperti
sesajen, punia dan ayah-ayahan
2. Sebagai
pemuput upacara.
3. Sebagai
sarana hiburan masyarakat.
4. Sebagai
tokoh perwatakan manusia.
5. sebuah persembahan
yang ditujukan kepada orang tua atau roh leluhur orang tua yang telah
meninggal, yang diungkapkan dengan rasa bakti oleh keturunannya.
6. Sebuah
persembahan yang tulus ikhlas yang dilandasi dengan kesucian untuk memelihara
hidup dan membersihkan lahir batin manusia mulai dari terwujudnya jasmani di
dalam kandungan sampai akhir hidup manusia.
7. persembahan yang
ditujukan kehadapan para bhuta kala atau mahluk bawahan, yang
berpengaruh buruk serta dapat menimbulkan bencana. Agar mengharmoniskan semua
kekuatan alam baik Bhuana Agung maupun Bhuana Alit, sehingga
tercapainya kesejahtraan dan kebahagiaan hidup
TARI GAMBUH
Ø PENGERTIAN TARI
GAMBUH
Gambuh adalah tarian dramatari Bali yang dianggap
paling tinggi mutunya dan juga merupakan dramatari klasik Bali yang paling kaya
akan gerak-gerak tari, sehingga dianggap sebagai sumber segala jenis tari
klasik Bali.
Diperkirakan
Gambuh muncul sekitar abad ke-15 dengan lakon bersumber pada cerita Panji. Gambuh berbentuk teater total karena di dalamnya terdapat jalinan unsur
seni suara, seni drama dan tari, seni rupa, seni sastra, dan lainnya.
Gambuh
dipentaskan dalam upacara-upacara Dewa Yadnya seperti odalan, upacara Manusa
Yadnya seperti perkawinan keluarga bangsawan, upacara Pitra Yadnya (ngaben) dan
lain sebagainya.
Diiringi dengan
gamelan Penggambuhan yang berlaras pelog Saih Pitu, tokoh-tokoh
yang biasa ditampilkan dalam Gambuh adalah Condong, Kakan-kakan, Putri,
Arya/Kadean-kadean, Panji (Patih Manis), Prabangsa (Patih Keras), Demang,
Temenggung, Turas, Panasar, dan Prabu. Dalam memainkan tokoh-tokoh tersebut
semua penari berdialog umumnya menggunakan bahasa Kawi, kecuali tokoh Turas,
Panasar dan Condong yang berbahasa Bali, baik halus, madya, atau kasar.
Ø FUNGSI
TARI GAMBUH
Fungsi secara umum memiliki sebuah pengertian kegunaan dari suatu hal yang
dapat memberikan kontribusi terhadap kehidupan masyarakat. Kesenian
secara umum hidup dan berkembang di masyarakat. Keberlangsungan kehidupan
sebuah kesenian sangat dipengaruhi oleh masyarakat sebagai pendukungnya.
Kehidupan kesenian pada masyarakat tentunya memiliki arti dan peranan penting
terhadap kelangsungan sebuah kebudayaan, yang dapat memberikan dan memenuhi
suatu kebutuhan bagi masyarakat baik yang bersifat estetis, ritual maupun yang
lainnya. Keberlangsungan kesenian klasik khususnya di Bali mempunyai fungsi dan
peranan yang cukup penting dalam kehidupan masyarakat Bali. Terlebih sebagai
masyarakat yang beragama dan berbudaya
§ Fungsi
Upacara
Upacara
adalah suatu kegiatan yang berkaitan dengan suatu kepercayaan dan pemujaan
terhadap Tuhan (Ida Shang Hyang Widhi Wasa) beserta manimfestasi
beliau. Secara khusus dalam Agama Hindu pelaksanaan sebuah upacara sering
dikenal dengan istilah yadnya (yajna). Secara
etimologi kata yadnya berasal dari bahasa Sansekerta yaitu
yajna adalah kata benda jenis laki-laki (maskulinum yang berasal di
urat kata V Yaj) yang berarti memuja atau mempersembahkan dan memberi
pengorbanan. Jadi yadnya artinya pemujaan, persembahan atau korban suci
baik material maupun non material berdasarkan hati yang tulus ikhlas dan suci
murni demi tujuan-tujuan yang mulia dan luhur.
1. Fungsi
Gambuh Kedisan pada Upacara Dewa Yadnya
DewaYadnya adalah suatu persembahan yang ditujukan kepada para dewa sebagai manimfestasi dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa, di mana persembahan tersebut didasarkan dengan keikhlasan dan penuh ketulusan hati.Rasa bakti kepada Tuhan dapat dilakukan dengan beragam wujud persembahan, seperti sesajen, punia dan ayah-ayahan. Kesenian Gambuh Kedisan secara umum dipertunjukan di setiap upacara Dewa Yadnya (odalan) di Pura Khayangan Tiga dan Khayangan lainnya yang terdapat di Desa Kedisan. Pementasan dalam kontek upacara Dewa Yadnya, Gambuh ini selalu dipentaskan dengan tujuan ngaturan ayah (ngayah) di Pura yang sedang melaksanakan odalan.
Gambuh ini biasanya dipentaskan dua kali, yaitu pertama pada piodalan hari kedua (menek jrimpen), dan kedua pada piodalan hari ketiga (menek penek). Pertunjukan Gambuh berlangsung pada sore hari, bersamaan dengan ida Bhatara turun mepada.
Pertunjukan Gambuh berlangsung di Jaba Tengah (madya mandala) pura. Dengan tempat (kalangan) yang sederhana, tanpa adanya hiasan-hiasan yang mendukung kalangan tersebut. Kesenian Gambuh ini selalu dipertunjukan di Pura setiap tahunnya (odalan). Terkecuali di Desa Kedisan ada halangan kematian (cuntaka). Mantenin gelungan adalah sebuah ritual upacara terhadap gelungan (hiasan kepala) sebelum dipakai menari. Gelungan dipercayai memiliki kekuatan magis atau taksu, sehingga sebelum dipergunakan terlebih dahulu diupacarai dengan mempergunakan banten (sesajen) yang disesuaikan dengan desa kala patra tempat pementasan, seperti Suci, Sorohan, dan Daksine Pejati. Ditujukan kepada Ida Shang Hyang Widhi dan manimvestasi beliau sebagai Sang Hyang Pasupati dan Sang Hyang Taksu, agar diberikan keselamatan dalam pementasan Gambuh. Mantenin kalangan dilaksanakan di tengah-tengah kalangan (panggung sementara) yang bertujuan untuk memohon keselamatan kepada Ida Sang Hyang Widhi dan manimfestasi beliau sebagai Ibu Pertiwi guna memohon ijin melaksanakan pertunjukan di tempat tersebut. Banten kalangan biasanya dilengkapi dengan segehan yang diperuntukan pada buta kala, agar tidak mengganggu pelaksanaan pertunjukan. Mantenin gong adalah upacara yang dilakukan terhadap gamelan yang akan dipergunakan mengiringi tarian Gambuh, dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi dan manimvestasi beliau sebagai Dewa Bunyi-bunyian, dengan tujuan memohon keselamatan pada sebuah pementasan.
DewaYadnya adalah suatu persembahan yang ditujukan kepada para dewa sebagai manimfestasi dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa, di mana persembahan tersebut didasarkan dengan keikhlasan dan penuh ketulusan hati.Rasa bakti kepada Tuhan dapat dilakukan dengan beragam wujud persembahan, seperti sesajen, punia dan ayah-ayahan. Kesenian Gambuh Kedisan secara umum dipertunjukan di setiap upacara Dewa Yadnya (odalan) di Pura Khayangan Tiga dan Khayangan lainnya yang terdapat di Desa Kedisan. Pementasan dalam kontek upacara Dewa Yadnya, Gambuh ini selalu dipentaskan dengan tujuan ngaturan ayah (ngayah) di Pura yang sedang melaksanakan odalan.
Gambuh ini biasanya dipentaskan dua kali, yaitu pertama pada piodalan hari kedua (menek jrimpen), dan kedua pada piodalan hari ketiga (menek penek). Pertunjukan Gambuh berlangsung pada sore hari, bersamaan dengan ida Bhatara turun mepada.
Pertunjukan Gambuh berlangsung di Jaba Tengah (madya mandala) pura. Dengan tempat (kalangan) yang sederhana, tanpa adanya hiasan-hiasan yang mendukung kalangan tersebut. Kesenian Gambuh ini selalu dipertunjukan di Pura setiap tahunnya (odalan). Terkecuali di Desa Kedisan ada halangan kematian (cuntaka). Mantenin gelungan adalah sebuah ritual upacara terhadap gelungan (hiasan kepala) sebelum dipakai menari. Gelungan dipercayai memiliki kekuatan magis atau taksu, sehingga sebelum dipergunakan terlebih dahulu diupacarai dengan mempergunakan banten (sesajen) yang disesuaikan dengan desa kala patra tempat pementasan, seperti Suci, Sorohan, dan Daksine Pejati. Ditujukan kepada Ida Shang Hyang Widhi dan manimvestasi beliau sebagai Sang Hyang Pasupati dan Sang Hyang Taksu, agar diberikan keselamatan dalam pementasan Gambuh. Mantenin kalangan dilaksanakan di tengah-tengah kalangan (panggung sementara) yang bertujuan untuk memohon keselamatan kepada Ida Sang Hyang Widhi dan manimfestasi beliau sebagai Ibu Pertiwi guna memohon ijin melaksanakan pertunjukan di tempat tersebut. Banten kalangan biasanya dilengkapi dengan segehan yang diperuntukan pada buta kala, agar tidak mengganggu pelaksanaan pertunjukan. Mantenin gong adalah upacara yang dilakukan terhadap gamelan yang akan dipergunakan mengiringi tarian Gambuh, dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi dan manimvestasi beliau sebagai Dewa Bunyi-bunyian, dengan tujuan memohon keselamatan pada sebuah pementasan.
Pitra Yadnya adalah sebuah persembahan yang ditujukan kepada orang tua atau roh leluhur orang tua yang telah meninggal.Yadnya ini merupakan sebuah persembahan yang didasari atas rasa bakti terhadap para leluhur, yang diungkapkan dengan rasa bakti oleh keturunannya. Misalnya lingkungan puri yang didiami oleh raja dan para keluarganya. Ketika melaksanakan sebuah upacara Pitra Yadnya tentunya dilengkapi dengan berbagai kesenian, yang merupakan tanda penghormatan dan ungkapan rasa bakti keluarga kepada mendiang. Kesenian yang dipentaskan biasanya kesenian yang kehidupannya pada jaman dahulu berada di lingkungan kraton atau puri seperti kesenian Gambuh.
Gambuh Kedisan salah satunya selalu pentas di setiap kegiatan upacara Pitra Yadnya (pelebon) di lingkungan puri. Gambuh ini sering pentas ketika ada upacara Pitra Yadnya di Puri Ubud dan Gianyar. Gambuh ini dipentaskan ketika jenazah raja akan di usung dan ditempatkan pada wadah (bade), yang nantinya akan diusung menuju kuburan. Menurut I Gusti Ngurah Widiantara tidak semua jenis upacara Pitra Yadnya yang dilaksanakan di lingkungan puri, menggunakan kesenian Gambuh. Kesenian ini dipertunjukan sesuai dengan tingkatan upacara yang diambil, serta apabila yang meninggal adalah tokoh raja baru dilengkapi dengan pertunjukan Gambuh, tepatnya ketika puncak upacara. Kesenian ini dipentaskan dengan maksud rasa bakti kepada sang raja yang telah meninggal, serta menghormati keagungannya sebagai seorang raja yang telah meningal. Pertunjukan Gambuh juga dipentaskan ketika berlangsungnya upacara Ngasti yang dilaksanakan pada lingkungan puri. Konteks upacara Pitra Yadnya Gambuh Kedisan hanya dipentaskan pada lingkungan puri, sesuai dengan tingkatan upacara yang dilaksanakan, tidak pada masyarakat umum.
3. Fungsi Gambuh Kedisan pada Upacara Manusa Yadnya
Manusa Yadnya adalah suatu upacara yang tulus ikhlas yang dilandasi dengan kesucian untuk memelihara hidup dan membersihkan lahir batin manusia mulai dari terwujudnya jasmani di dalam kandungan sampai akhir hidup manusia.Upacara Manusa Yadnya merupakan sebuah upacara yang dilakukan dengan tingkatan-tingkatan tertentu mulai dari terbentuknya janin dalam kandungan, diupacari dengan istilah magedong-gedongan. Sampai pada manusia meninggal dunia diupacarai dengan istilah (ngaben/pelebon). Upacara pernikahan (pawiwahan) adalah salah satunya upacara Manusa Yadnya yang tergolong sakral. Perlu adanya pemilihan hari baik (dewasa), serta tingkatan upacara yang akan dilaksanakan. Pada lingkungan puri biasanya mengambil tingkatan upacara yang tergolong madya dan utama. Untuk keturunan raja atau pun keluarganya biasanya dilengkapi dengan sajian tari Gambuh, seperti upacara pawiwahan di Puri Gianyar.
Menurut I Gusti Ngurah Widiantara, Gembuh Kedisan sempat beberapa kali pentas di Puri Gianyar, pada Upacara Pernikahan yang dilaksanakan oleh keluarga raja. Gambuh tersebut dipentaskan semata-mata bukan untuk hiburan, melainkan dipentaskan ketika upacara tersebut sedang berlangsung. Terakhir Gambuh ini pentas di Puri Gianyar pada upacara Manusa Yadnya adalah ketika pernikahan putra dari Anak Agung Baratha. Kesenian ini dipertunjukkan dalam konteks Upacara Manusa Yadnya hanya dalam wilayah puri, bukan pada masyarakat umum.
4. Fungsi Gambuh Kedisan pada Upacara Bhuta Yadnya
Bhuta Yadnya adalah sebuah korban suci atau persembahan yang ditujukan kehadapan para bhuta kala atau mahluk bawahan, yang berpengaruh buruk serta dapat menimbulkan bencana. Agar mengharmoniskan semua kekuatan alam baik Bhuana Agung maupun Bhuana Alit, sehingga tercapainya kesejahtraan dan kebahagiaan hidup. Upacara bhuta yadnya merupakan upacara yang identik dengan penetralisiran alam bawah. Ketika sebuah upacara ini dilaksanakan selalu dilengkapi dengan berbagai bunyi-bunyian, seperti tetabuhan Balaganjur, Sungu, Kul-kul, Kendang kecil, Bajra Puter dan sebagainya, yang di percaya bisa mengusir bhuta kala. Selain itu juga dilengkapi dengan sajian topeng. Secara umum pada upacara bhuta yadnya ini tidak dilengkapi dengan kesenian sakral, namun ketika disajikan bersamaan dengan upacara tersebut, secara tidak langsung juga berfungsi sebagai upacara bhuta yadnya.
Secara khusus Kesenian Gambuh Kedisan memang tidak pernah difungsikan pada upacara bhuta yadnya. Akan tetapi sering kali ketika melakukan sebuah pertunjukan (ngayah) pada setiap upacara yang mengambil tingkatan madya dan utama. Berlangsungnya pertunjukan Gambuh tersebut sejalan dengan berlangsungnya tahapan upacara yang disebut dengan Tawur Agung. Jadi secara tidak langsung kesenian ini difungsikan pada konteks upacara bhuta yadnya.
Ø
Sejarah Tari Gambuh
Gambuh
adalah sebuah drama tari warisan budaya Bali, yang memperoleh pengaruh dan
drama tari zaman Jawa-Hindu di Jawa Timur, yang dikenal dengan nama Rakêt
Lalaokaran. Drama tari klasik yang lahir di Puri pada
masa lampau, masih dilestarikan diberbagai daerah di Bali, yang dulunya
merupakan wilayah kekuasaan kerajaan. Rakêt telah mengalami
perjalanan sejarah yang panjang, dan baru disebutkan lagi dalam Kidung Warjban
Wideya dari abad XVI. Rakêt Lalaokaran yang juga disebut Gambuh
Ariar adalah pertunjukan berlakon yang merupakan perpaduan
antara Rakêt dengan Gambuh. Gambuh abad XVI
ini adalah tarian perang yang merupakan kelanjutan dan Bhata Mapdtra
Yuddha, yaitu tarian perang untuk menghibur rakyat Majapahit yang
melaksana upacara Shreiddha.Penelitian yang mengkaji
asal-usul Gambuh serta pengaruhnya pada dramatariArja ini,
merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan pendekatan etnokoreologi,
yaitu sistem analisis yang memadukan penelitian tekstual dengan penelitian
kontekstual. Kedua drama tari ini memiliki aspek-aspek yang multilapis,
sehingga dalam kajiannya akan melibatkan pula metode, teori maupun
konsep-konsep disiplin lainnya. Penelitian untuk disertasi ini juga menyajikan
pembahasan tekstual secara lebih rinci, yaitu dengan melakukan perbandingan
antara Gambuh dengan Arja dilihat dari
unsur-unsur yang membangun kedua drama tari tersebut. Studi banding ini
dimaksudkan untuk mengetahui seberapa banyak persamaan yang dimiliki, serta
seberapa jauh perbedaan yang ditunjukkan oleh kedua drama tari
tersebut.Terwujudnya Gambuh sebagai dramatari istana yang
adiluhung telah memberikan pengaruh yang besar pada kehidupan seni pertunjukan
di Bali. Gambuhyang terbentuk di Bali tidak hanya memperkenalkan
cerita sebagai lakon yang memunculkan adanya struktur dramatik yang lengkap,
akan tetapi memperkenalkan pula koreografi yang rumit dan penampilan yang
artistik, untuk hiburan raja dan para bangsawan kerajaan. Bentuk
pertunjukan Gambuh memiliki standar kualitas tertentu yang
mencirikan Gambuh, yaitu memiliki struktur pertunjukan dan
koreografi serta iringan musik yang pasti, perbendaharaan gerak yang lengkap
dengan aturan-aturan yang ketat, yang tidak dimiliki oleh Bali sebelumnya.
Begitu pula kostum yang digunakan sangat megah, berbeda dengan kostum yang
digunakan oleh tarian-tarian sebelumnya yang sangat sederhana. Itulah yang
menyebabkan Gambuh dikatakan sebagai sumber drama tari
yang muncul kemudian di Bali.Salah satu drama tari yang mendapat pengaruh
dari Gambuh adalah drama tari opera arja. Arja adalah
dramatari opera yang menggunakan tembang dan dialog sebagai
media ungkap lakon yang ditampilkan. Dilihat dari bentuk pertunjukkan arjayang
sekarang dengan bentuk pertunjukan pada mulanya ketika masih disebut dadap,tampak
perbedaan yang sangat mencolok. Hal ini menunjukkan perbedaan dramatari
opera arja seperti sekarang ini telah melalui suatu proses
transformasi dengan rentangan waktu yang sangat lama. Dramatari arja yang
muncul dikalangan masyarakat jelata sebagai sebuah pertunjukan yang sederhana
pada mulanya, telah berubah secara bertahap menjadi bentuk seni pertunjukan
yang memiliki unsur-unsur pokok Gambuh dalam bentuk yang lebih
menarik.Gambuh yang muncul sebagai drama tari istana telah
berkembang sesuai dengan kehidupan masyarakat Bali yang religius. Ditemukannya
lontar Dharma Pagambuhan dalam penelitian ini, menunjukan
hubungan yang erat antara seni pertunjukan dengan kehidupan ritual
keagamaannya. Lontar Dharma Pagambuhanmerupakan lontar tuntunan
spiritual untuk dramatari Gambuh, yang berisi pertunjukan
berupa mantra-mantra yang harus diketahui oleh penari maupun Penabuh
Gambuh. Lontar ini juga memuat jenis-jenis sesajen yang harus
dipersembahkan ketika melakukan pementasan Gambuh. Digunakannya
jenis-jenis sesajen yang dimuat dalam Dharma Pagambuhan oleh genre seni
pertunjukan lainnya di Bali merupakan pertunjukan pula, bahwa Gambuh adalah
sumber drama tari Bali yang tercipta kemudian.Penelitian ini telah menunjukkan
bahwa Gambuh memang berasal dari zaman Jawa-Hindu di Jawa
Timur, yang telah mengalami perubahan dan perkembangan di Bali. Kehadiran Gambuh tepat
pada saat bali sedang mengalami kebangkitan kembali dalam bidang seni, yaitu
pada zaman pemerintahan Dalem Waturenggong (1460-1550). Gambuh yang
memiliki elemen-elemen dramatari yang sangat lengkap, telah menjadikannya
lengkap, telah menjadikannya sumber, yang kemudian mempengaruhi bentuk-bentuk
seni pertunjukan yang lahir kemudian. Arja merupakan
transformasiGambuh ke dalam bentuk pertunjukan yang memiliki nuansa
baru serta karakter yang berbeda dengan sumbernya. Arja memiliki
unsur-unsur pokok Gambuh dalam bentuk yang lebih menarik,
dalam arti sesuai dengan jiwa zamannya. Semua itu berkat peran para
penari Gambuh yang terlibat dalam pembentukannya, termasuk
peran istana yang telah membangun arja sebagai arja
due purl (arja milik istana), yang juga turut
memberikan pengaruh dan dampak yang menguntungkan dalam dunia seni pertunjukan
di Bali. Tari gambuh biasanya dipentaskan pada saat Hari Raya Galungan dalam
rangka mengiringi serangkaian upacara pada Hari Raya Galungan tersebut selain
itu juga dipergunakan pada saat orang setempat melaksanakan acara pernikahan,
selain itu juga banyak dicari atau diundang oleh desa tetangga dalam rangka
mengiringi upacara yadnya juga, orang setempat menyebutnya Nunas Tirta Gambuh.
Pada hari Raya Galungan, Tari Gambuh ini dipentaskan pada sore atau malam hari
H. Tokoh - tokoh dalam tari Gambuh tersebut lumayan banyak juga. Awalnya tari
Gambuh ini dimulai dengan mementaskan 2 penari dengan tokoh "Condong dan
Galuh" biasanya disebut Salah satu keunikan Gambuh adalah pada bentuknya,
yang merupakan gabungan antara tari Jawa dan tari Bali, dimana Gambuh
memasukkan cerita dalam tarian Bali karena tarian Bali pada zaman Pra-Hindu
tidak memiliki cerita. Dalam perkembangannya, Gambuh yang semula hanya
mengambil cerita Panji kemudian dapat menampung berbagai cerita klasik yang
sesuai dengan struktur dramatikanya.
Ø GAMBUH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar