Selasa, 17 November 2015
Kamis, 02 April 2015
Jumat, 27 Maret 2015
KITAB SUCI (AGAMA HINDU)
BAB V KITAB SUCI
- Pengertian
Secara realitas dan kemantapannya
Kitab Suci sejenis dengan pengertian Hukum secara umum, yakni
peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupan
sehari-hari, baik yang ditetapkan oleh penguasa, pemerintah maupun berlakunya
secara alamiah, yang kalau perlu dapat dipaksakan agar peraturan tersebut
dipatuhi sebagaimana yang ditetapkan.
Dalam kitab suci Weda mengandung hukum Hindu yang
perlu kita ketahui dengan tujuan :
- Agar
disadari bahwa hukum Hindu merupakan bagian dari hukum positif yang
berlaku bagi masyarakat Hindu di Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945, pasal 29 ayat 1 dan 2, serta pasal 2 Aturan Peralihan.
- Untuk
memehami bahwa berlakunya hukum Hindu di Indonesia dibatasi oleh falsafah
negara Pancasila dan ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945.
- Untuk
mengetahui persamaan dan perbedaan antar hukum adat Bali dengan Hukum
Hindu.
- Untuk
membedakan antara adat murni dengan adat yang bersumber kepada
ajaran-ajaran Agama Hindu.
- Istilah
Rta atau Reta adalah hukum Tuhan yang bersifat
abadi. Rta itu kemudian dijabarkan ke dalam tingkah laku manusia dan disebut
Dharma. Tuhan menciptakan hukum dan sekalian sebagai pengendalian atas hukumNya
itu, maka Tuhan juga disebut Rtawan. “Dharma dharyate prajah” yang artinya
dharma penyangga manusia (masyarakat).
- Sumber Hukum Hindu
Berdasarkan ilmu peninjauan sumber hukum Hindu dapat
ditinjau dari empat segi, yakni :
- Peninjauan
Sumber Hukum Dalam Arti Sejarah
Dokumen
tertua yang memuat hukum Hindu adalah Reg Weda dalam Weda Sruti (2000 SM), yang
penulisannya dimulai dari abad 10 SM yang penyampaiannya secara tradisional
(lisan). Fase berikutnya
muncul Dharmasastra yang tergolong Smerti (Abad 10 SM). Kitab Smerti dibedakan
dua kelompok, yakni Sad Wedangga dan Upaweda. Dalam Wedangga Dharmasastra
dinyatakan sebagai bagian dari kitab kalpasutra.
Kitab kalpasutra dibagi menjadi empat :
a) Srautasutra : tentang darsapurnamasa (purnama
tilem).
b) Grhyasutra : tentang upacara garbhadhana sampai
antyesti (kematian).
c) Dharmasutra : tentang hukum, agama kebiasaan atau
acara dan sistacara.
d) Sulwasutra : tentang arsitektur.
Kitab
Dharmasutra ini dijadikan dasar dalam menulis dharmasastra , yang penulisannya
dibagi menjadi dua :
a) Bentuk Sutra (1000 SM) amat singkat, yaitu aphrisme.
b) Bentuk sastra (Abad 5 SM) yang lebih terurai.
Jadi Sruti adalah UU-nya, Smerti adalah UU Pokok dan
UU Pelaksanaannya adalah Nibandha. Sehingga Sruti dan Smerti mempunyai kekuatan
hukum yang sama, seperti disebutkan dalam :
1) Manawa
Dharmasastra II.10, sbb :
“Srutistu
vedo vijneyo
Dharmasastram
tu wai smrtih
Te
sarwatheswamimamsye
Tabhyam
dhrmohi nirbabhau.”
Artinya :
Yang
dimaksud dengan Sruti adalah Weda,
Smrti
adalah Dharmasastra
Kedua
macam pustaka suci ini tidak boleh diragukan kebenarannya
Mengenai
apapun juga, karena keduanya adalah sumber hukum.
2) Sarasamuscaya II.37, sbb :
“Sruti vedah samakhyato
Dharmasastra tu vai smrtih,
Te sarwatheswam imamsye
Tabhyam dharma vinir bhrtah”.
Artinya :
Sruti adalah Weda (Catur Weda)
Dharmasastra adalah Smrti
Kedua-duanya jangan disangsikan
untuk semua tujuan
Kedua-duanya merupakan sumber
dharma.
Kitab Dharmasastra
dibedakan atas masa berlaku dan pengarangnya seperti :
a) Manawa Dharmasastra karya Manu berlaku zaman Kerta
Yuga
b) Gautama Dharmasastra karya Gautama berlaku zaman
Treta Yuda
c) Sankhalikhita Dharmasastra berlaku zaman Dwapara
Yuda
d) Parasara Dharmasastra berlaku zaman Kali Yuda
2) Peninjauan Sumber Hukum Hindu dalam Arti Sosiologis
Kata
sosiologi diartikan ilmu tentang sifat, prilaku dan perkembangan masyarakat.
Masyarakat adalah kelompok manusia pada daerah tertentu yang mempunyai hubungan
baik dalam bidang agama, budaya, bahasa, dll. Hubungan antara mereka telah
mempunyai aturan yang melembaga, baik berdasarkan pengaruh-pengaruh yang datang
di kemudian hari.
Sumber dharma atau
hukum tidak saja Sruti, Smrti, tetapi juga Sila, Acara dan Atmanastuti. (Manawa
Dharmasastra II.6).
Penerapan Dharma
didasarkan pada asas-asas tertentu, yakni
:
- Samaya (waktu)
- Desa (tempat)
- Acara (kebiasaan)
- Kula (keluarga)
- Warna (golongan)
- Semanya (sifat-sifat
umum)
Ini berarti ilmu
sosiologi sengat berperan dalam menunjang sumber-sumber itu.
Berdasarkan
penjelasan di atas penerapan Hukum
Hindu itu selalu mempertimbang desa,
kala, patra.
Contoh : Himsa
karma melanggar hukum tetapi dalam peperangan merupakan keharusan bagi seorang
kesatria.
3) Peninjauan Hukum Hindu dalam Arti Filsafat
Filsafat
adalah ilmu pikir. Filsafat juga merupakan pencarian rasional ke dalam sifat
kebenaran/realitas. Filsafat membingbing manusia untuk mencapai tujuan hidup
Jagadhita dan Moksa. Untuk mencapai tingkat kebahagiaan itu harus memperhatikan
:
a) Harus didasarkan pada Dharma.
b) Harus diusahakan melalui keilmuan (Jnana)
c) Harus didasarkan pada kepercayaan (Sadhana)
d) Harus didasarkan pada ajaran Tri Kaya Parisudha
e) Harus ditebus dengan usaha Prayascita (penyucian)
4) Sumber Hukum dalam Arti Formil
Menurut
piagam Mahkamah Internasional pasal 38, susunan sumber hukum, sbb :
- Traktat
internasional yang kedudukannya sama dengan UU terhadap negara itu.
- Kebiasaan
Internasional
- Asas-asas
hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradap
- Keputusan-keputusan
hukum sebagai yurisprudensi bagi suatu negara.
- Ajaran
yang dipublisir oleh para ahli hukum dari berbagai negara hukum.
Dalam Manawa Dharmasastra II.6, disebutkan :
“Idanim dharma pra
mananya ha
Vedo ‘khilo dharma
mulam smrti sile
Ca tad vidam
acarasca iva
Sadhunam
atmanastustireva ca ”
Artinya :
Seluruh pustaka
suci Weda (Sruti) merupakan sumber utama daripada Dharma (Agama Hindu),
kemudian barulah Smrti di samping sila (kebiasaan-kebiasaan yang baik dari
orang-orang yang menghayati Weda) dan kemudian Acara(tradisi-tradisi dari
orang-orang suci) serta akhirnya Atmanastuti (rasa puas diri sendiri)
Rasa puas merupakan ukuran yang selalu diusahakan oleh setiap manusia
yang kemungkinan mempunyai rasa puas yang berbeda-beda. Untuk itu harus diukur
atas dasar kepentingan umum. Sehingga perlu dibentuk Majelis Parisada.
- Manawa Dharmasastra
(Compendium Hukum Hindu)
1) Wyawaharapada dalam Dharmasutra. Terdiri dari tiga
buah kitab, sbb :
a) Yang ditulis oleh Gautama : terdiri dari tupoksi
seorang raja berupa hukum pidana dan perdata.
b) Yang ditulis oleh Apastamba : terdiri dari hukum
perzinahan, bunuh diri, melanggar dharma, buruh dengan majikan dan
penyalahgunaan hak milik.
c) Yang ditulis oleh Budhayana terdiri dari : hukum
bela diri, pembunuhan seorang Brahmana, pembunuhan ternak orang lain.
2) Pokok Bahasan di dalam Kitab Dharmasastra
Ada 3 penulisan Dharmasastra, yakni : Wisnu, Manu,
dan Yajnawalkya, akan tetapi yang paling terkenal adalah Manu dengan 18 titel
hukumnya, sbb :
- Rinadana
: ketentuan tentang tidak membayar hutang.
- Niksepa
: tentang deposito dan perjanjian.
- Aswamiwikraya
: tentang penjualan barang tak bertuan.
- Sambhuya-samutthana
: tentang perikatan antara firman.
- Dattasyanapakarma
: tentang hibah dan pemberian.
- Wetanadana
: tentang hukum mengenai tidak membayar upah.
- Samwidwyatikarma
: hukum mengenai tidak melakukan tugas yang diperjanjikan.
- Krayawikrayanusaya
: pelaksanaan jual beli.
- Swamipalawiwada :
perselisihan antara buruh dan majikan.
- Simawiwada :
perselisihan mengenai perbatasab
- Waparusya : tentang
penghinaan.
- Dandaparusya :
tentang penyerangan dan kekerasan.
- Steya : tentang
pencurian.
- Sahasa : tentang
kekerasan.
- Stripundharma :
tentang suami istri.
- Stripundharma :
tentang kewajiban seorang istri.
- Wibhaga : tentang
pembagian waris.
- Dyutasamahwya :
tentang perjudian dan pertarungan.
3) Beberapa Masalah Hukum dalam Perkembangan
a) Hukum Piutang
Menurut Manu dalam kitabnya Bab VIII.49. dinyatakan
bahwa seorang kreditor dapat menuntut
atau memperoleh piutangnya dari debitur melalui persuasif moril, keputusan
pengadilan, melalui upaya akal, melalui cara puasa di pintu masuk rumah si
debitur dan dengan cara kekerasan.
Bab
XII.40, hutang seorang debitur jatuh kepada ahli warisnya bila ia meninggal
dunia.
b) Deposito (Niksepa)
Deposito
banyak macamnya seperti : Yachita, Ayachita, Anwahita dan Nyasa.
c) Penjualan Barang Tak Bertuan
Dalam kitab
Gautama, Bab XII.50, menegaskan penadah atau penerima barang curian dapat
dihukum. Dengan demikian orang yang membeli barang curian dapat dihukum.
Yajnawalkya
mempertegas dalam bab II.168-174, baik pembeli maupun penjualnya dapat
dituntut. Oleh karena itu, ia harusdapat membuktikan bahwa benda itu adalah
haknya yang sah.
d) Dana atau Pemberian
Dalam bentuk
daksina, yaitu semacm pemberian sebagai upah kepada pendeta (brahmana) yang
melakukan upacara untuk orang lain.
- Kronologi Hukum Hindu
- Acara
dalam mengadili Menuruti Sastra
Pembagian
ada dua :
- Ahwana
: pemanggilan untuk memaksa terdakwa datang di depan pengadilan. Dilakukan
dengan pemberian kabar (murda) melalui
atasan.
- Asadha
: tindakan penuntut umum untuk melakukan penahanan dalam rangka
pemanggilan supaya terdakwa tidak melarikan diri.
- Acara
Pemeriksaan
Ditinjau
dari segi pembuktian menurut Rsi
Yajnawalkya ada 4 macam bukti, yaitu :
- Lekhya : (Bukti
otentik atau tertulis)
- Bhukti : (bukti
pemilihan atas materi)
- Saksi : (bukti saksi)
- Diwya : (bukti
sumpah).
Menurut Bhagawan
Manu ada 4 persyaratan saksi :
- Minimal 3 saksi.
- Saksi harus sudah
berumah tangga (dewasa).
- Saksi diberikan oleh
para pihak.
- Saksi bebas dari
lobha.
Pelaksanaan sumpah
ada 4, yakni :
- Sumpah menurut
Tula/Timbangan, yakni yang disumpaah ditimbang dengan pemberat lainnya.
- Sumpah menurut Agni ,
yakni dites dengan api, bila terbakar dianggap bersalah.
- Wisa (sumpah dengan
racun/mecor), disumpah dengan minum racun, bila masih hidup dianggap tidak
bersalah.
- Kosa adalah sumpah
semacam wisa, air bekas pembersih keris atau arca yang telah dimantrai
kemudian diminumkan.
- Upaya Mentaati Hukum Hindu dalam Kehidupan
Keagamaan dalam Kerangka Hukum Nasional
Ada empat jenis Dharmasastra, yang salah satunya
adalah karya Bhagawan Manu telah dikritik oleh Yajnawalkya, lalu lahir 3 bentuk
aliran hukum yakni :
- Aliran
yajnawalbya oleh yajnawalkya
- Aliran
mitaksana oleh wijnaneswara, dan
- Aliran
dayabhaga oleh jimutawahana
Dari ketiga aliran
itu, dua aliran terakhir yang paling banyak penyebarannya. Diantara kitab-kitab
yang terkenal dianggap memuat ajaran Hukum Hindu yang terdapat di Indonesia
adalah kitab Agama, Adigama, Raja Patigadala, Sesana- sesana (Siwa Sesana,
Rajasesana, Purusasesana, Rsisesana, dll), Kutoramanawa, dan Purwadigama.
PHDI sebagai
lembaga legislatif berperan menentukan apa yang harus dipakai bila terdapat
perbedaan penafsiran, bila tidak ada ayat-ayat yang mengaturnya, bahkan
mempengaruhi pendapat raja (penguasa) di dalam bidang keagamaan. Lembaga
pengadilan Agama Hindu disebut “Raad Kerta”.
Upaya mentaai hukum
Hindu, Empu Yogiswara dalam kekawin Ramayana II, sargah 24.81 dan 82,
menandaskan :
“Phiren temen
Dharma dhumaranang sarat,
Saraga sang sadhu
sireka tutana,
Tan artha tan kama
pidonya tan yasa,
Ya sakti sang
sajjana dhama raksaka”
Artinya :
Usahakan benar
dharma untuk memelihara dunia ini,
Kesenangan
orang-orang bijak itu harus kamu ikuti,
Tidak mementingkan
artha, kesenangan nafsu maupun nama,
Karena itulah
merupakan keampuhan orang-orang bijaksana di dalam memegang dharma.
“Saka nikang rat
kita yan wenang manut,
Manupadesa prihatah
rumaksaya,
Ksaya nikang papa
nahan prayojana,
Jana anuraga adhi
tuwin kapangguha”
Artinya :
Peredaran zaman
dunia ini sedapat-dapatnya harus kamu ikuti benar-benar,
Pergunakan ajaran
Manu untuk memelihara (dunia),
Melenyapkan
penderitaan,
Demikianlah
hendaknya diusahakan kecintaan rakyat pasti kau peroleh.
WIWAHA (AGAMA HINDU)
BAB IV WIWAHA
- Pendahuluan
Wiwaha
dalam ajaran Catur Asrama, termasuk dalam Grehastha Asrama. Dalam kitab Manawa
Dharmasastra disebutkan bahwa wiwaha bersifat sakral yang hukumnya wajib, yakni
harus dilakukan oleh seseorang yang normal sebagai suatu kewajiban dalam
hidupnya.
- Pengertian Wiwaha
Menurut UU No : 1 th 1974 pasal 1 : perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang berbahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Suatu
perkawinan dianggap sah bila ada saksi dalam upacara. Dalam upacara wiwiha (byakala) tersebut sudah terkandung
Tri Upasksi (konsep keseimbangan):
- Dewa
saksi (Tuhan yang dimohon hadir)
- Manusa
saksi (Pemangku, Bendesa Adat, Kelian Dinas)
- Bhuta
saksi (Bhuta Kala)
Asas-asas perkawinan yang perlu diperhatikan :
- Perkawinan
bertujuan membetuk rumah tangga bahagia dan kekal.
- Suatu
perkawinan sah bila dilakukan menurut hukum agama yang dianut dan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
- UU
Perkawinan mengandung asas monogami.
- Jiwa
raga calon suami-istri harus telah dewasa.
- UU
menganut prinsip mempersukar perceraian .
- Hak
dan kedudukan suami istri diatur dalam UU.
- Tujuan Wiwaha
Mempunyai
putra yang saputra adalah tujuan yang utama dari wiwaha. Hal ini didukung oleh
pendapat :
- Kitab
Monusmerti : seseorang berkewajiban mempunyai putra karena ia akan menebus
dosa-dosa orang tua. (putra = Bhs. Sansekerta)
- Kitab
Manawa Dharmasastra, Itihasa dan Purana Ideni.
- Kitab
Nitisastra sbb : orang yang membuat 100 sumur masih kalah keutamaannya
dibandingkan dengan orang yang membuat satu waduk, orang yang membuat 100
waduk kalah keutamaannya dibandingkan dengan orang yang membuat 1 yadnya
secara tulus ikhlas, dan orang-orang yang mampu membuat 100 yadnya masih
kalah keutamaannya dibandingkan dengan orang yang mampu melahirkan seorang
anak yang suputra.
Dalam hidup berumah tangga ada beberapa kewajiban yang
perlu dilaksanakan :
- Melanjutkan
keturunan.
- Membina
rumah tangga.
- Bermasyarakat.
- Melakukan
Panca Yadnya.
- Hakikat Wiwaha
Yang
perlu dilaksanakan dalam wiwaha (grehastha) ada tiga :
- Dharma
: dharma Agama dan dharma Negara..
- Artha
: kebutuhan hidup berupa kesehatan, materi dan pengetahuan .
- Kama
: kenikmatan dan kebahagiaan.
- Syarat-syarat Wiwaha
Suatu
perkawinan dianggap sah menurut Hindu adalah sbb :
- Dilakukan
menurut ketentuan hukum Hindu.
- Disahkan
oleh pendeta (rohaniawan) atau pejabat agama yang memenuhi syarat untuk melakukan perbuatan itu (Loka Pala
Sraya).
- Kedua
calon mempelai beragama Hindu.
- Setelah
melaksanakan upacara byakala (biakaonan) sebagai rangkaian upacara wiwaha.
- Calon
mempelai tidak terikat oleh suatu ikatan pernikahan.
- Tidak
ada kelainan : banci, kuming (tidak pernah haid), gila atau sehat jasmani
dan rohani.
- Calon
mempelai cukup umur , pria = 21 th, wanita = 18 th minimal.
- Calon
mempelai tidak mempunyai hubungan darah dekat (sepinda).
- Sebagai
pendukung pelaksanaan hukum Hindu harus dibuatkan “Akte Perkawinan” agar
kukuh perkawinan itu
Menurut pasal 23 bab IV. UU No. 1 th 1974 yang dapat
mengajukan pembatalan perkawinan :
- Para
keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri.
- Suami
/ istri.
- Pejabat
yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan.
- Pejabat
yang ditunjuk dalam ayat 1 pasal 16 UU No. 1 th 1974, dan setiap orang
yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan
tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus
F. Sistem Perkawinan Hindu
Berdasarkan
kompodium hukum Hindu yakni Manawa Dharmasastra ada 8 jenis perkainan, sbb :
“Brahma Dai vastat hai varsah,
pnipaja vasiatha
surah,
gandharwo raksasa caiva, dan
paisacasca astamo dharmah”
Artinya : adapun sistem perkawinan itu ialah Brahma
Wiwaha, Daiwa Wiwaha, Gandarwa Wiwaha, Raksasa Wiwaha, dan Paisaca Wiwaha.
Adapun penjelasannya sbb :
- Brahma
Wiwaha adalah pemberian anak wanita kepada seorang pria yang ahli Weda dan
berperilaku baik setelah menghormati orang yang diundang sendiri oleh ayah
wanita (M.D.III.27)
- Daiwa
Wiwaha pemberian anak gadis kepada seorang pendeta yang melaksanakan
upacara atau yang telah berjasa (M.D.III. 28)
- Arsa
Wiwaha adalah perkawinan yang dilakukan sesuai dengan peraturan setelah
pihak wanita menerima seekor atau dua pasang lembu dari pihak calon
mempelai laki-laki (M.D.III. 29)
- Prajapati
Wiwaha adalah pemberian seorang anak gadis setelah berpesan dengan mantra
semoga kamu berdua melaksanakan kewajibanmu bersama dan setelah
menunjukkan penghormatan (kepada pengantin pria), (M.D.III. 30)
- Asura
Wiwaha perkawinan setelah pengantin pria memberikan mas kawin sesuai
kemempuan yang didorong oleh kemampuan sendiri kepada si wanita dan
ayahnya menerima wanita itu untuk dimiliki (M.D.III.31)
- Gandharwa
Wiwaha adalah perkawinan suka sama suka antara seorang wanita dan pria
(M.D.III. 32)
- Raksasa
Wiwahaadalah perkawinan dengan cara menculik gadis dengan cara kekerasan
(M.D.III. 33)
- Paisaca
Wiwaha adalah perkawinan dengan cara mencuri, memaksa dan membuat bingung
atau mabuk (M.D.III. 34)
Sistem perkawinan Raksasa dan Paisaca Wiwaha dilarang
oleh hukum. Menurut tradisi adat di Bali, ada 4 bentuk sistem perkawinan :
- Sistem
memadik/meminang : yaitu calon suami serta keluarga datang ke rumah calon
istri untuk meminang. Biasanya calon pengantin sudah saling kenal dan
sepakat. Ini dipandang cara yang paling terhormat.
- Sistem
ngerorod/rangkat, yaitu perkawinan yang berlangsung atas dasar saling
cinta oleh kedua calon yang sudag cukup umur (kawin lari).
- Sistem
nyentana / nyeburin, yaitu perkawinan yang berdasarkan perubahan status
hukum, calon mempelai wanita secara adat berubah status sebagai purusa dan
calon mempelai laki-laki berstatus sebagai pradana. Dalam hubungan ini
laki-laki tinggal di rumah istri.
- Sistem
melegandang, yaitu bentuk perkawinan dengan cara paksa yag tidak didasari
atas cinta sama cinta. (Raksasa Wiwaha dan Paisaca Wiwaha)
UU Perkawinan
No : 1 th 1974, pasal 57, mengatur tentang perkawinan campuran, yaitu
perkawinan pasutri yang berbeda kewarganegaraan dan kemugkinan berbeda agamanya,
maka hukum agama si suami yang harus diikuti : Diawali dengan upacara
sudhiwadani sebagai pernyataan bahwa si wanita rela dan sanggup mengikuti agama
pihak suami. Setelah itu upacara wiwaha baru dilaksanakan.
- Perkawinaan yang Dilarang
Menurut UU
No:1 th 1974, pasal 24 dan 27, suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila :
- Bertentangan
dengan hukum agama, misalnya dilakukan dengan sistem raksasa atau paisaca
wiwaha.
- Bila
calon pasutri masih mempunyai ikatan perkawinan dengan seseorang
sebelumnya.
- Bila
calon pasutri mempunyai cacat yang disembunyikan, sehingga salah satu
pihak merasa ditipu, misalnya memiliki penyakit munular, tidak sehat
pikiran, impotensi, hamil akibat berhubungan dengan laki-laki lain.
- Bila
mempunyai hubungan sapinda.
- Apabila
istri tidak menganut agama yang sama dengan suami menurut hukum agama.
- Contoh-contoh Tata Cara
Perkawinan Hindu Menurut Daerah
- Wiwaha di Bali
Perkawinan
yang tidak didahului dengan upacara
pekala-kalaan dianggap tidak baik, disebut kamakaparagan. Anak yang lahir
disebut “ rare dia-diu”, atau rare bibinjat.
- Tata
urutan Upacara Perkawinan di Bali
1) Penyambutan
kedua mempelai, untuk melenyapkan unsur-unsur negatif yang mungkin dibawa oleh
kedua pasutri agar tidak mengganggu jalannya upacara.
2) Mabyakala,
untuk membersihkan lahir batin kedua mempelai terutama sukla swanita, yaitu sel
benih pria dan sel benih wanita agar menjadi janin suputra.
3) Mepejati
(Pesaksian), untuk pengesahan perkawinan kepada Tuhan Yang Maha Esa, juga
kepada masyarakat, bahwa pasutri telah meningkatkan diri sebagai suami istri.
- Sarana/Upacara
1) Banten
pemagpag, segehan dan tumpeng dadanan.
2) Banten
untuk mempelai byakala, banten kurenan dan pengulap pengambean.
3) Banten
pesaksi, pradaksina dan ajunan.
Adapun kelengkapan upacara lainnya seperti :
1) Tikeh
dadakan, terbuat dari daun pandan yang masih hijau. Ini simbul kesucian si
gadis.
2) Pepegatan
berupa dua buah cabang dapdap yang ditancapakan dengan jarak yang agak
berjauhan dan keduanya dihubungkan dengan benang putih dalam keadaan terentang.
3) Tetimpug,
yaitu lima atau tujuh ruas potongan bambu kecil yang masih muda.
4) Sok
Dagang, yaitu sebuah bakul berisi buah-buahan, rempah-rempah dan keladi.
5) Kala
Sepetan, yaitu disimbulkan dengan sebuah bakul berisi serabut kelapa dibelah
tiga yang diikat dengan benang tri datu, diselipi lidi 3 buah dan 3 lembar daun dapdap. Kala
Sepetan adalah nama salah satu bhuta kala yang akan menerima pekala-kalaan.
6) Tegen-tegenan,
yaitu batang tebu atau batang dapdap yang kedua ujungnya diisi gantungan
bingkisan nasi dan uang.
- Jalannya
Upacara
1) Upacara
penyambutan kedua mempelai, yaitu di pintu halaman pekarangan rumah pasutri
disambut dengan upacara masegehan dan tumpeng dandanan.
2) Upacara
mabyakala, yaitu diawali dengan upacara puja astuti oleh pemimpin upacara.
Selanjutnya membakar tetimpug sebagai simbol pemberitahuan kepada bhuta kala, kedua pasutri berdiri
melangkahi tetimpug sebanyak 3 kali dan kemudian menghadap banten pabyakalaan.
Kedua tangan mempelai dibersihkan dengan segehan/ tepung tawar, kemudian natab
pabyakalaan. Selanjutnya masing-masing ibu jari kaki dari pasutri disentuhkan
dengan telur ayam mentah 3 kali. Selanjutnya kedua mempelai dilukat dengan
tirta penglukatan. Upacara selanjutnya berjalan mengelilingi banten pesaksi dan
kala sepetan yang arahnya Murwa Daksina. Saat berjalan, mempelai wanita
berjalan di depan sambil menggendong sok dagangan (simbol menggendong anak),
sambil diiringi mempelai pria memikul tegen-tegenan (simbol kerja keras untuk
memperoleh nafkah kehidupan). Setiap melewati ibu jari kanan kedua mempelai
disentuhkan ke bakul. Mempelai wanita saat berjalan dicemeti(dipukul) dengan 3
buah lidi sebagai simbol kesepakatan untuk hidup semati. Upacara terakhir kedua
mempelai memutuskan benang pepegatan sebagai tanda mereka berdua telah memasuki
hidup grehasta.
3) Upacara
Mepejati atau Persaksian.
- Wiwaha di Jawa
Adapun
rangkaian acaranya sbb :
1) Nontoni,
yaitu calon suami berkunjung ke rumah keluarga calon istri.
2) Pinangan,
yaitu kerabat dan orang tua calon suami menyampaikan lamaran, selanjutnya menentukan
hari baik perkawinan.
3) Peningset,
yaitu keluarga pria menyampaikan tanda pengikat berupa cincin, pakaian, kerbau,
sapi atau kebutuhan hidup lainnya.
4) Midodareni,
yaitu persiapan 1 hari menjelang upacara puncak.
5) Panggih
Manten, yaitu upacara puncak perkawinan.
3)
Wiwaha
di Dayak
a) Mamupuh,
yaitu pihak laki-laki mengirim utusan kepada pihak perempuan untuk menyampaikan
lamaran. Bila diterima maka bukti lamarannya diserahkan berupa pakaian Sinde (selembar kain panjang atau kamen),
saat itu pula dibicarakan rencana peminangan.
b) Meminang
, yaitu 3 bulan kemudian pihak laki-laki menyerahkan pakaina Sinde Mendeng, 1
buah gong, seekor ayam dan lilis/lamiang.
c) Tahap
Pengukuhan Perkawinan , yaitu diadakan upacara Haluang Hapelek (perkawinan
adat). Dalam upacaranya dikenal manifestasi
“Ranjung Hattala” (Tuhan dibidang perkawinan).
4)
Wiwaha
di Batak Karo
a) Tahap
sebelum upacara perkawinan, yaitu diawali saling kenal kedua mempelai
(=Erturut), kemudian saling mengenal pribadi (=Naki-naki), akhirnya pihak orang
tua saling berhubungan (=Nungkuni).
b) Nangkih,
yaitu pihak laki-laki membawa si wanita ke rumah keluarganya dengan diantar
oleh 1 atau 2 orang.
c) Maba
Belo Selambar, yaitu membawa selembar sirih 4 atau 8 hari setelah nangkih
sebagai sarana upacara (=byakaon).
d) Maba
Manuk (membawa ayam).
e) Kerja
Erdemu Bayu, yaitu pesta adat Karo yang beragama Hindu di siang hari.
f) Sesudah
perkawinan, yaitu upacara Nguluhken Limbas
yang
sering disebut dengan istilah Ertedeh Atai (kangen).
Langganan:
Postingan (Atom)